Puluhan
kasus dugaan jual beli jabatan di institusi pemerintahan telah dilaporkan ke
Kementerian Dalam Negeri. Kendati demikian, Komisioner Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN) Waluyo menyatakan, pihaknya kesulitan membuktikan praktik kotor
tersebut.
"Ini
kan kasus suap menyuap, proses pembuktiannya dibutuhkan tantangan
sendiri," katanya di Bakkoel Coffe, Menteng, Jakarta, Kamis (12/1).
Dia
menjelaskan, tantangan yang diterima KASN dalam mengungkap kasus tersebut
terkait para saksi. Berbeda dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sudah
cukup informasi dan bukti. Waluyo mencontohkan, seorang staf ahli di daerah
terpaksa merogoh kocek Rp150 juta untuk tetap berada di posisinya, namun kasus
tersebut sulit dibuktikan.
"Kalau
pengaduan seperti ini banyak yang tidak mau menjadi saksi," bebernya.
Waluyo
berharap KASN diberikan kewenangan lebih dalam memberikan rekomendasi sanksi
terhadap para pejabat yang terbukti melakukan jual beli jabatan.
"Kewenangannya
untuk beri rekomendasi, kami meneruskan ke presiden," ucap Waluyo.
Sementara
itu, Koordinator ICW Ade Irawan menilai, jual beli jabatan dapat diungkap
dengan OTT meski secara teknis cukup merepotkan. Pemberian hukuman yang berat
juga disarankan guna memberikan efek jera.
"Kemungkinan
dilakukan dengan OTT, secara realistik memang agak merepotkan. Makanya soal
hukuman bisa diperkuat, sehingga ada efek jera," kata Ade.
Sekadar
informasi, kasus praktik jual beli jabatan belum lama ini terbongkar di Klaten,
Jawa Tengah. Bupati Klaten Sri Hartini dibekuk pada Jumat, 30 Desember 2016.
Bupati Klaten periode 2016-2021 itu diduga menerima suap terkait mutasi jabatan
di lingkungan Pemkab setempat. Kepala Seksi (Kasi) Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Dinas Pendidikan Klaten Suramlan juga dicokok karena diduga menyuap Sri.
Tim Satuan
Tugas KPK mengantongi alat bukti berupa uang senilai Rp2 miliar dalam pecahan
Rp100 ribu dan Rp50 ribu yang dimasukkan ke dalam dua kardus air kemasan. KPK
juga mengamankan fulus USD5.700 dan SGD2.035.
Sri yang
merupakan kader PDI Perjuangan ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Dia
dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Suramlan
dijerat sebagai pemberi suap. Dia disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a
dan b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (int-Ant)
Komentar
Posting Komentar