Jakarta - Rencana Kementerian BUMN membentuk holding migas menjadi pil pahit bagi para investor PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS).
Sejak surat menteri BUMN Rini Soemarno mengenai permintaan RUPSLB kepada PGN dalam rangka pembentukan holding migas bocor ke publik awal pekan ini, saham PGAS di bursa saham terus terkoreksi.
Pada perdagangan hari Rabu kemarin (6/12/2017) saham PGAS kembali tertekan dengan penurunan sebesar 55 poin (3,36%) ke level Rp1.580 per saham. Salah satu level terendah yang disentuh perusahaan dengan identitas warna biru itu. Selama 3 hari ini harga saham PGAS turun sekitar 12% atau setara dengan Rp4,5 triliun nilai kapitalisasi pasar PGAS.
Pada perdagangan hari ini Kamis (7/12/2017) saham PGAS berada di jalur hijau dengan naik 20 poin dari pembukaan Rp1.560 per saham menjadi Rp1.600 per saham atau menguat 1,27%.
Secara historical, sepanjang tahun ini Saham PGAS menjadi pemuncak daftar saham-saham pemberat langkah Indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang 2017. Harga saham BUMN penguasa hilir gas bumi itu telah anjlok 41,5 persen sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan kemarin (6/12/2017).
Saham PGAS ada di urutan pertama dalam daftar saham Laggard (pemberat) IHSG secara year to date dengan kontribusi tekanan sebesar 24,8 poin.
Di tempat kedua adalah saham PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) yang turun sebesar 33,2 persen pada periode sama diikuti saham PT Mitra Keluarga Tbk (MIKA) yang turun sebesar 32,3 persen.
Di tempat keempat daftar saham pemberat IHSG adalah PT Bank Jabar Tbk (BJBR) yang turun 31,6 persen secara year to date dan saham PT Waskita Karya Tbk (WSKT) yang turun 26,7 persen.
Nilai kapitalisasi pasar saham (market cap) yang menjadi salah satu cerminan kekayaan BUMN bidang migas itu turun menjadi Rp38,302 triliun pada hari ini. Sejak isu holding migas di gulirkan oleh menteri Rini Soemarno, tahun ini nilai kapitalisasi pasar saham PGAS sudah berkurang sebesar Rp15,89 triliun dibandingkan Rp54,197 triliun pada 2 Januari 2017.
Pembentukan holding migas yang merencanakan PT Pertamina sebagai holding dan BUMN lainnya selain PGAS seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Timah Tbk (TINS) sebagai anak usaha itu menimbulkan pro dan kontra.
Mayoritas pengamat dan kalangan professional pada posisi tidak setuju terhadap akuisisi PGN oleh Pertamina. Terlebih jika melihat para calon anak usaha justru perusahaan publik dan dalam kondisi sehat.
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai pembentukan holding migas merupakan jalan pintas dari menteri BUMN. "Harusnya pembentukan holding dimulai dengan integrasi antara PGN dengan Pertagas," katanya.
Fahmi menambahkan, idealnya, holding migas merupakan perusahaan baru yang 100% sahanya dikuasai oleh pemerintah. Setelah itu, perusahaan ini akan membawahi anak perusahaan di sektor migas, termasuk Pertamina dan PGN.
"Bukan Pertamina mencaplok PGN, seperti konsep Rini. Cara ini justru menjadi blunder," ungkap dia. [jin]
Sumber : inilah.com
Komentar
Posting Komentar